Saturday, November 26, 2011

Dilarang Patah Hati

Kemarin dalam perjalanan pulang ke rumah, di tengah kemacetan Senayan, radio mobil memutarkan sebuah lagu Indonesia lama. Nada-nada mellow-nya membawa saya kembali ke sebuah masa. Masa di mana hati saya sedang terluka parah dan rasanya takkan ada obatnya. Sedih sekali. Dalam keriuhan macet malam kemarin, saya ingin menangis. Bodoh ya? Saya melihat sosok diri saya beberapa tahun yang lalu, dan mengasihani "Azza yang itu".

Patah hati itu berat, Jendral.
Kamu tahu ada di dalam dirimu yang sakit, tapi kamu tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengobatinya.
Rasanya helpless dan hopeless sekali.
Kalau kita luka, kita bisa mengoleskan obat, atau pergi ke dokter. Kalau hati kita yang luka?
Sering kali kita bicara pada orang lain untuk membagi luka itu, sehingga tidak terasa terlalu berat.
Saat itu, saya tidak ingin membaginya dengan siapapun.
Egois. Bahkan sakit yang dia sebabkan pun, harus cuma saya yang mengetahui dan merasakannya.

Yang terburuk dari patah hati adalah perasaan tidak diinginkan.
Perasaan bahwa kita tidak berharga. Perasaan bahwa kita ditinggalkan.
Kalikan sejuta bila yang mengakibatkan rasa itu adalah seseorang yang benar-benar kita cintai.
Bukan dia yang kita tahu cuma sekejap mengisi fase hidup kita.
Bukan dia yang cuma kita sukai keberadaannya.
Tapi dialah seseorang yang menerangi hidup kita.
Yang membuat dunia menjadi berwarna. Yang membuat hidup sangat berarti.

Saya sering menatap langit dan berpikir bahwa setidaknya kami masih hidup di bawah "atap langit" yang sama.
Pathetic, right? ;)

But no, I didn't hate this person.
Yang sungguh membingungkan saya dari sosok orang ini adalah;
saya tahu dia menyayangi saya, tapi dia hobi sekali menyakiti saya.
Saya berani bersumpah bahwa rasa itu ada di dalam dirinya, tapi entah kenapa, dia tega sekali menyakiti saya berkali-kali.

Pertama kali, saya masih menganggapnya cinta monyet. Saya yang bodoh. Saya lupakan dia.
Lalu dia datang lagi. Kami dekat. Dia memutuskan untuk menjauh. Kami jauh. Saya hancur.
Suatu saat, dia datang lagi. Setelah itu menghilang. Saya hancur lagi.
Dan setelah bertahun-tahun, datang lagi. Dan kami dekat lagi...
Dan dia pergi lagi... Kebodohan tiada tara.
4 kali mungkin saya patah hati karena pria yang sama.
Saya bukan lagi keledai, mungkin saya kedelai.

Entah kenapa. Entah bagaimana. Saya selalu menerima dia kembali.
Padahal setiap kali dia pergi meninggalkan saya secara sepihak, hati saya rasanya tercabik-cabik dan tak mungkin utuh kembali. Saya merasa bukan manusia lagi, karena sedih sekali rasa dibuang, tidak dipedulikan, tidak dianggap ada oleh dia yang membuat hidup jadi berarti.

Instead of hating him, I pray for him. And paid revenge to lots of guys, instead.
Beberapa tahun yang lalu, saya bertemu dia lagi.
Dan tidak, kami tidak "dekat" seperti dulu lagi.
Meski saya tetap protes pada Tuhan kenapa mahluk tak berperasaan ini selalu menyakiti saya.
Kalau saya tidak mengerti alasannya, saya tidak akan pernah berhenti bertanya dan penasaran.

Lalu Tuhan akhirnya menjawab dengan caraNya sendiri...
Karma. 1 kata saja. Dan saya terdiam, lalu menunduk.
Akhirnya... terjawab. Saya terima, saya pasrah, saya ikhlas.

Saat itu saya juga sudah mencapai taraf unconditional love pada orang ini.
Tidak ingin memiliki. Tidak ingin berharap apapun. Tidak ingin apa-apa dari dia.
Hanya searah mendoakan dia, ingin melihat dia bahagia, ingin melihat dia tidak letih lagi dalam pencariannya.
Tidak ingin menguasai. Tidak ingin dilihat seperti dulu lagi.

Sakit yang dia ciptakan, mengajarkan saya lebih dewasa, naik tingkat ke level mencintai manusia lain dengan sesuci-sucinya. True love? I don't know. Saya berani bilang, saya terima dia dengan baik & buruknya. Mungkin perempuan-perempuan yang rela dipoligami dengan alasan cinta merasakan hal yang sama. Mereka tak peduli lagi dengan ego ingin memiliki seorang lelaki seutuhnya.
Bisa jadi mampu membahagiakan orang tersebut saja sudah sebuah anugerah.

Pagi tadi saya terbangun. Berolah raga. Dan banyak termenung.
Meraba dada, terasa sakit. Ada apa dengan hati ini yang sejak kemarin senang bermain drama?
Saya sudah mengikhlaskan semua rasa. Saya tak ingin kembali ke masa-masa itu.

Bila ada di antara kalian yang belum pernah merasakan ingin mati karena hidup terasa terlalu menyakitkan, saya setulusnya mendoakan kalian tidak pernah merasakannya.
Ada masanya saya merasa bernafas pun sulit. Hidup namun seakan tidak berada di alam ini.
Salah satu yang ekstrim adalah ketika saya menyupir sambil memejamkan mata dari Lembang ke Bandung, dengan memastikan suasana sangat sepi saat itu, sehingga saya tidak akan menabrak manusia.
Saya sering melakukan hal-hal seperti itu. Menantang maut, karena berpikir mungkin sakitnya akan hilang bila saya tidak hidup lagi.
Atau pada satu kesempatan mengambil silet, dan mengiris sedikit tangan.
Bukan, bukan karena gila atau ingin mati. Tapi supaya rasa sakit di tangan melebihi sakit di hati, jadi sakitnya bisa teralihkan.

Jadi, jangan patah hati. Rasanya setengah mati.
Namun kalau kamu tidak pernah patah hati, bisa jadi karena kamu tidak berani mempercayakan hatimu pada orang lain. Dan saya pun tak ingin itu terjadi.
Saya mempercayai orang ini, 4 kali. Dan tidak berhasil. Dan kemungkinan untuk tidak disakiti oleh orang lain itu hampir tidak ada. You just have to take the risk, if you think it's worth the reward.

Dan malam ini, saya masih mengelus-elus dada yang nakal ini... Ada apa ya?
:)

No comments:

Post a Comment