Sunday, January 03, 2010

Ikhlas

Akhir-akhir ini saya kerap menggerutu.
Mengutuki orang-orang tertentu yang bersikap seperti benalu.
Saya pikir "sebaik-baiknya" saya, tentulah ada batasnya.
Tak bisa saya dimanfaatkan bak sapi perah, apalagi kalau terus-terusan.

Rasa kesal dan marah karena dikecewakan dan disakiti itu kerap membuat saya sedih juga sakit kepala.
Pernah menangis penuh amarah, tapi saat kejadian itu teringat lagi, air mata rasanya sudah kering, yang ada hanya kebekuan.

Letih dengan diri sendiri, malam ini saya memanggil jiwa seseorang.
Dan seperti biasa, saat saya sedang butuh, dia akan datang...

"Ajarkan saya tentang ikhlas..." saya membuka percakapan.

Dia tersenyum.
"Ikhlas itu akumulasi tertinggi dari rasa iman, percaya pada Dia. Bahwa apapun yang dia berikan padamu, cobaan yang membuat senang ataupun sakit, semuanya tak lain tak bukan adalah yang terbaik untukmu... entah kau bisa melihatnya, atau tidak bisa melihatnya :)"

"Kepercayaan membabi buta tanpa logika?" saya mulai tertarik.

"Logika? Jelaskan logika. Akal pikiran manusia yang terbentuk berdasarkan persepsi yang konsisten? Yang direkayasa berdasarkan pengalaman masa lalu, dengan sebuah latar belakang sempit, tanpa pembuktian sebaliknya atau jumlah pembanding yang sepadan?"

Dia meneruskan kembali dengan bersemangat.
"Di dalam dirimu ada kompas.
Ada pula segumpal daging.
Daging yang baik itu, yang pada semua manusia dasarnya baik, sering menolak kompas nurani yang merupakan jalan paling gampang. Entah kenapa, bisa jadi karena kau turunan Adam Hawa yang keras kepala, manusia cenderung memberontak. Bila dibilang api panas, ia cenderung ingin membakar tangannya dulu baru percaya.
Kompas di dalam dirimu itu yang membuatmu mendatangkanku.
Sebab saat ini, kompasmu bilang kau sedang ada di jalur yang salah.
Kau merasa tidak bisa memaknai ikhlas..."

Saya menghela nafas.
"Betul. Tak salah sedikitpun. Saya tahu kita harus mencintai orang seperti saudara sendiri, bahkan sama seperti mencintai diri kita sendiri. Namun saya tak terima harus bekerja keras sementara dia tinggal menuai apa yang saya tabur..."

Dia tertawa kerasss sekali...
"Hahaha... Pohon yang kau makan buahnya itu, yang menanam adalah seorang kakek-kakek yang telah meninggal. Dia tak merasa gundah kau yang memakan buahnya. Kau baru tinggal di sini 10 tahun. 30 tahun yang lalu, rumahmu ini bak hutan, dan dia yang menanam semua buah-buahan yang kau makan dengan enaknya.
Coba kau lihat, itu matahari. Betapa banyak yang dia lakukan untuk kalian, apakah dia pernah merasakan pentingnya berhitung?

Tidakkah menjalankan fungsimu di dunia ini untuk mencapai ridha-Nya jauh lebih berharga daripada sekadar main matematika dengan sang Pencipta?

Sadar... Sadar.. Mawas diri... Katanya kau paham bahwa yang tidak memiliki tidak kehilangan? Bahwa ada itu tiada, dan begitupula sebaliknya?"

Saya tersindir. Sufisme mainan saya dari SD. Sebagai anak kecil, berbagai buku, mulai dari Khalil Gibran hingga Bukhari menemani hari-hari dan malam-malam kesepian saya. Saya tumbuh tidak dengan paham ingin memiliki, tapi penuh dengan retorika pertanyaan yang selalu saya jawab sendiri...

Teman bicara saya pun melayang pergi...
Dia tidak membuat hati saya lebih lega atau pikiran saya lebih kosong.
Malah saya merasa tertantang untuk menguji perasaan sendiri:

mampukah saya mengosongkan apa yang berisi ini, dan mengisi apa yang kosong, sehingga semuanya seimbang dan benar-benar null?

No comments:

Post a Comment